Audit hanya jadi stempel formalitas dan pencitraan korporasi? Setuju? tergantung. Tergantung pada apa? Kapan audit bisa dikatakan berfungsi sebagai stempel formalitas dan pencitraan korporasi belaka? Bagimana mungkin itu bisa terjadi? Audit Hanya Jadi Stempel Formalitas Dan Pencitraan Korporasi?
Tenang, untuk prosedur audit langkah-4 dan seterusnya akan dilanjutkan oleh penulis bagian-1. Anggaplah tulisan saya ini sebagai supplement, jeda, selingan, hiburan atau apalah, yang bisa jadi ‘ada- atau-tidak ada’ manfaatnya. Yang jelas, saya melihat ini perlu untuk disampikan. (maksa.com, hehehe).
Untuk warming up, mari kita mulai dengan pertanyaan: mengapa laporan keuangan diaudit?
Yang belum diungkap adalah: siapa yang menginginkan laporan keuangan diaudit dan apa motivasinya? Ini perlu diketahui, jika ingin melihat proses audit secara utuh.

Siapa Yang Menghendaki Laporan Keuangan Diaudit dan Apa Motivasinya?

Pada dasarnya semua stakeholders (management, shareholders, pemerintah/DJP, kreditur) menginginkan agar laporan keuangan diaudit. Mereka menginginkan hal itu karena pada dasarnya mereka tidak bisa percaya begitu saja pada angka-angka yang ada di laporan keuangan (mulai dari catatan transaksi, saldo akun hingga laporan keuangan yang disajikan). Mereka ingin tahu: apakah ada RISIKO di dalamnya.
Pertanyaan selanjutnya: risiko apa?
Risiko apalagi selain RISIKO RUGI. Ada 2 lapis risiko kerugian yang mungkin menimpa mereka (stakeholders), sehubungan dengan laporan keuangan:
Lapis-1. Rugi Akibat Salah Mengambil Keputusan – Salah mengambil keputusan akibat salah menginterpretasikan isi laporan keuangan. Salah menginterpretasikan laporan keuangan akibat isi laporan tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Keputusan apa yang dipengaruhi oleh laporan keuangan? Tergantung siapa stakeholdersnya. Misal:
  • Management – Banyak strategi dan keputusan bisnis yang dibuat berdasarkan hasil evaluasi kinerja yang tercermin di laporan keuangan, penentuan kompensasi untuk management misalnya. Apa yang terjadi jika informasi keuangan tidak benar?
  • Shareholders dan Investor – Banyak keputusan investasi yang dibuat berdasarkan hasil evaluasi kinerja yang menggunakan rasio-rasio keuangan. Rasio-rasio keuangan hanya valid bila data (laporan keuangan) yang digunakan sesuai dengan kondisi yg sebenarnya. Apa yang terjadi bila informasi keuangan tidak valid?
  • Pemerintah – Diwakili oleh Ditjen Pajak (DJP), pemerintah menetapkan kewajiban pajak perusahaan berdasarkan angka-angka yang ada di laporan keuangan. Bila laporan keuangan tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, mereka akan salah menetapkan kewajiban pajak.
  • Kreditur – Silahkan di isi sendiri (saya yakin anda sudah tahu)
Lapis-2. Rugi Karena Kehilangan Aset – dikatakan risiko kerugian mereka berlapis 2 karena, bila ditelusuri—mengapa isi laporan keuangan tidak sama dengan kenyataan—kemungkinan penyebab utamanya ada 2, yaitu: (a) Kesalahan yang tidak disengaja; atau (b) disengaja (sebentar lagi saya akan bahas lebih lanjut mengenai hal ini.) Bila yang terjadi adalah yang (b), maka besar kemungkinan mereka juga tertimpa risiko kehilangan aset. Kemungkinan modusnya ada 2, yaitu:
  • Pencurian (stealing)
  • Penggunaan aset yang tidak semestinya (misappropriation of asset)
Esensi fungsi audit adalah: MENDETEKSI, MENEMUKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN ADA-ATAU-TIDAK ADANYA RISIKO TERSEBUT. Itu sebabnya mengapa tahapan audit yang paling crucial adalah: “pemeriksaan risiko salah-saji yang bersifat material” (risk of material misstatement assessment)—yang jika tidak dilakukan dengan prudent, bisa membuat audit mengalami ‘gagal-fungsi’ (maal-function), atau lebih parahnya lagi ‘mandul’, sehingga fungsi audit menjadi tak lebih dari STEMPEL FORMALITAS BELAKA. Bila kondisi ini terjadi? Saya akan bahas sebentar lagi, setelah….
Pertanyaan berikutnya: apa saja yang mempengaruhi “risiko salah-saji yang bersifat material” (risk of material misstatement) dan apa yang harus dilakukan oleh seorang auditor?

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Risk of Material Misstatement

Klasiknya, secara natural, salah-saji yang bersifat material bisa disebabkan oleh 2 hal utama berikut:, yaitu:
1. Erroneous (kesalahan yang tidak disengaja) – Kesalahan angka dan perhitungan matematis, kesalahan akun, dan kesalahan perlakuan akuntansi lainnya yang tidak disengaja. Error seperti ini bisa dibilang hanya kesalahan administrative (di atas kertas), samasekali tidak membuat kekayaan dan kewajiban perusahaan yang sebenarnya menjadi berubah.
Misalnya: saldo persediaan perusahaan auditee adalah Rp 500 juta, tetapi karena kesalahan perhitungan yang muncul di neraca hanya Rp 400 juta. Apakah kesalahan angka itu membuat nilai persediaan perusahaan auditee menjadi berkurang sungguhan? Tidak—tetap saja Rp 500 juta (yang sebenarnya).
Akan tetapi, adalah tidak mungkin bagi pihak luar (shareholders misalnya) untuk melakukan verifikasi satu-per-satu terhadap saldo akun yang ada di laporan keuangan—guna mengetahui keadaan yang sebanrnya. Itu sebabnya mereka menggunakan jasa auditor independent (dari KAP). Salah satu tujuannya ya untuk mengetahui apakah angka-angka yang ada di laporan keuangan sudah mencerminkan kondisi yang sebenarnya.
Penangangan terhadap error sudah sangat standard, saya yakin setiap orang akuntansi (terlepas apakah dia seorang auditor atau bukan) tahu mesti melakukan apa bila menemukan error (mengusulkan pebaikan dengan menyarankan adjustment atau correction entries). That is it.
2. Fraud (penggelapan & penyelewengan) – Berbagai bentuk penyelewengan yang sudah pasti disengaja. Fraud, jelas berbeda jika dibandingkan dengan erroneous. Dampaknya bisa langsung mengakibatkan kerugian. Ada 2 macam fraud yang relevan bagi auditor sehubungan dengan laporan keuangan, yaitu:
(a) Fraudulent financial reporting – Yaitu: asersi manajemen (mulai dari transaksi, saldo akun, hingga disklosur) yang dibuat sedemikian rupa untuk ‘mengelabui’ stake holders lain (shareholders, kreditor dan pemerintah) demi memperoleh benefit bagi diri-sendiri, apapun bentuknya (note: diri-sendiri dalam hal ini bisa keseluruhan manajemen perusahaan auditee atau seseorang/kelompok orang di dalamnya).
(b) Misappropriation of assets – Yaitu: Penggunaan aset perusahaan yang tidak dimaksudkan untuk kepentingan perusahaan.
Auditor diharapkan, setidak-tidaknya, mampu menangkap indikasi yang mengarah ke dua macam fraud itu. Untuk maksud itu, auditor perlu:
  • Berdiskusi dengan anggota team – Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa team auditor terdiri dari berbagai personel dengan kapasitas dan kapabilitas berbeda. Idealnya, auditor senior berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan auditor junior, khusus mengenai wilayah-wilayah yang rentan terhadap tindakan fraudulence—sekaligus memberikan penekanan mengenai betapa pentingnya menjaga derajat dan tingkat ‘professional skepticism’ yang sesuai untuk wilayah-wilayah tersebut.
  • Melayangkan permintaan resmi ke manajemen – Menyampaikan permintaan resmi kepada pihak manajemen perusahaan yang diaudit untuk memberikan masukan mengenai adanya indikasi risiko fraud.
  • Menajalankan prosedur analitis – Menjalankan prosedur analitis untuk mendeteksi risiko fraud.
  • Mempertimbangkan kondisi yang memungkinkan fraud terjadi – Ada tiga kondisi utama yang menyebabkan fraud mungkin terjadi (terkenal dengan istilah “Fraud Triangle”), yaitu: (1) adanya tekanan ekonomi; (2) adanya kesempatan untuk melakukan tindakan fraud; dan (3) adanya rasionalisasi yang membuat seolah-olah tindakan fraud masuk-akal untuk dilakukan.
  • Mengidentifikasi risiko fraud yang memerlukan respon audit lanjutan – Teori klasiknya: material misstatement terkait fraud sebagian besar melibatkan adanay campur tangan management (perseorangan atau kelompok)—yang dengan sengaja melanggar SPI, Teori ini kemudian ditarik menjadi: motive utama manejemen melakukan financial statement fraudulence biasanya kompensasi—untuk memperoleh bonus, etc. Sehingga hasil akhirnya adalah overstated revenue. Seorang auditor, minimal, melakukan pengujian yang cukup untuk hal klasik ini.
  • Menangani kemungkinan SPI yang dilanggar – Tangani risiko pelangaran SPI—baik yang motivenya fraud maupun tidak.
  • Memberikan respon yang cukup terhadap risiko fraud – Misalnya: (1) Melakukan modifikasi yang diperlukan terhadap keseluruhan strategi audit; (2) melakukan perubahan drastic terhadap timing dan lokasi audit secara mendadak; (3) melakukan review khusus terhadap akun-akun yang transaksinya menggunakan estimasi dan metode perhitungan yang tidak lumrah.
Erroneous dan fraud adalah faktor dasar penyebab timbulnya risiko salah-saji yang bersifat material—sekaligus menjadi fungsi klasik audit. Seiring perkembangan, faktor penyebab risiko salah-saji semakin berkembang, sehingga perlahan namun pasti fungsi audit juga mulai meluas. Diantaranya:
3. Tindakan Melawan Hukum (Illegal Acts) – Oke. Bahwa auditor tidak memiliki kompetensi untuk menangani hal-hal yang berhubungan dengan pelanggaran hukum, IYA. Tetapi, setidanya, auditor diharapkan memiliki pemahaman dasar mengenai tindak pelaggaran hukum di lingkungan bisnis—terutama yang ada hubungannya dengan laporan keuangan. Misalnya: penghindaran pajak adalah bentuk pelanggaran hukum—yang sering dilakuka dengan cara memanipulasi laporan keuangan. Setidaknya, auditor bisa mendeteksi adanya indikasi semacam ini dan mengkomunikasikannya dengan pihak lain yang memiliki kewenangan untuk menangani masalah pelanggaran hukum.
4. Transaksi Hubungan Istimewa – Basicnya: 2 pihak yang memiliki hubungan transaksi dimana salah satunya memiliki kemampuam mempengaruhi yang lainnya untuk tidak meminta haknya secara penuh, maka itu dikategorikan sebagai transaksi hubungan istimewa. Hak yang tidak diminta secara penuh membuat laporan keuangan menjadi tidak sesuai dengan kondisi yang seharusnya. Misalnya:
  • Transaksi antara perusahaan induk dengan cabangnya
  • Transaksi antara perusahaan dengan afiliasinya
  • Transaksi antara perusahaan yang anggota manajemennya memiliki saham di perusahaan lain.
  • Dan lain sebagainya.
Proses audit diharapkan dapat mendeteksi sekaligus memberikan respon yang cukup terhadap indikasi transaksi hubungan istimewa.
4. Entity’s Ability to Going Concern - Going concern atau kemampuan perusahaan untuk terus beroperasi, sebenarnya bukan sesuatu yang baru di dunia akuntansi. Hanya saja, entah mengapa, tidak memperoleh penekanan yang penting dalam auditing. Belakangan ini, kalangan dunia usaha—khususnya investor—mulai ngeh akan betapa pentingnya untuk mengetahui, setidaknya indikasi, apakah perusahaan mampu meneruskan operasinya dalam jangka panjang. Dan investor mengharapkan agar auditor mampu menangkap sinyalemen tersebut. Bahkan di luar sana, pendapat (opini) auditor sudah diharuskan untuk mengikutsertakan aspek going concern.
Sekalilagi, idealnya, proses audit dimaksudkan untuk mendeteksi sekaligus memberikan respon yang sesuai terhadap berbagai RISIKO KERUGIAN yang bisa menimpa stakeholders—sehubungan dengan asersi management (mulai dari transaksi, saldo akun, hingga penyajian laporan keuangn perusahaan auditee.
Kenyataannya?
Hmm… mari kita lihat sama-sama…

Audit Hanya Jadi Stempel Formalitas Dan Pencitraan Korporasi Belaka?

Apakah audit, saat ini, fungsinya hanya sebagai stempel formalitas dan pencitraan korporasi?
Data keuangan (yang dalam auditing disebut asersi management) diaudit karena adanya kepentingan berbagai pihak. Kalau mau menghilangkan sedikit ‘unsur jaga image’, maka pertanyaan: “siapa yang menghendaki laporan keuangan diaudit” bisa berubah menjadi: “Siapa yang ‘memesan’ audit dan apa isi ‘pesan’-nya? Nah, jadi beda kan?
Ya. Pertanyaannya menjadi terdengar tendensius. Lupakan tendensius atau tidak. Kita orang-orang yang bergelut di lingkungan bisnis—bukan governmental atau political institution.
Namun demikian, melihat sisi lain—dengan kacamata berbeda, adalah proses pembelajaran yang mestinya tak dihilangkan begitu saja. Diakui-atau-tidak, yang menakar value hasil pekerjaan kita (dan membayar kita) adalah orang lain, orang-orang yang berada di luar lingkungan profesi kita (yang memiliki mindset dan menggunakan kaca mata yang bisa jadi samasekali berbeda).
Terhadap pertanyaan: “Siapa yang ‘memesan’ audit dan apa isi ‘pesan’-nya?” Yang paling sering meminta adalah 3 pihak berikut ini:
1. Korporasi auditee sendiri – Terutama yang sudah listing di bursa sahamlah yang paling banyak menggunakan jasa audit. Untuk apa? Disamaping untuk mematuhi ketentuan Bappepam, juga untuk pencitraan korporasi. Apa isi pesannya? Tentu korporasi menyadari bahwa auditor bekerja dengan tetap mematuhi kode-etik. Tentu, dalam “engagement letter” mereka tidak mencantumkan: “Tolong beri opini wajar tanpa syarat”. Akan tetapi, apa yang terjadi bila auditor mengeluarkan opini “tidak wajar”? Apakah mereka membiarkan citra korporasinya turun—yang akan diikuti oleh penurunan harga saham—akibat opini tidak wajar dari auditor? Jelas tidak. Mereka mencari auditor (dari KAP lain) yang bisa memberi pendapat wajar. Apakah ada KAP yang seperti itu? Saya tidak tahu. Yang saya tahu:
  • KAP juga bisnis—bukan YLKI atau sejenisnya, ada persaingan memperebutkan klien diantara mereka. Tentu mereka mencari titik trade-off yang paling pas antara menjaga kredibilitas dan kue bisnis. Setuju/tidak? Jika tidak, kapan rencananya anda jadi managing partner?
  • Belum pernah mendengar/membaca berita tentang korporasi yang memperoleh opini “tak wajar” dari auditor. Apakah karena semua korporasi selalu compliance? Mudah-mudahan saja.
2. Pemegang Saham (Shareholders) – Pihak kedua yang cukup sering ‘memesan’ jasa audit—diluar permintaan formal Bappepam, adalah pemegang saham. Ini dilakukan bila pemegang saham mencurigai adanya tindak kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan dimana mereka memiliki saham. Isi pesan-nya, dengan bahasa sehari-hari, sudah pasti: “saya ingin tahu apakah ada kecurangan di dalam perusahaan ini”. Apa yang terjadi bila auditor menemukan kecurangan? Paling banter ganti susunan dewan direksi dang anti rugi—itupun tidak dipublikasikan. Apakah opini “tidak wajar” auditor dipublikasikan? Apakah kasusnya diungkap ke publik? Jika iya, berarti mereka bunuh diri. Yang lebih masuk akal adalah tidak mempublikasikannya agar harga saham tetap stabil—sambil cepat2 dijual. Setelah saham berpindah tangan, pemegang saham berikutnya melakukan hal yang sama lagi, begitu terus, mirip pola MLM—yang di hulu ‘memakan’ yang dihilir. Yang jelas saya belum pernah mendengar/membaca kasus fraud heboh di suatu korporasi stelah proses audit. Kebanyakan kasus muncul ke permukaan terlebih dahulu baru diaudit.
3. Pemerintah (diwakili oleh DJP) – Perusahaan tertentu mungkin diwajibkan menyertakan laporan keuangan “audited” untuk setiap SPT yang mereka kirimkan ke DJP. Apakah manajemen korporasi mengirimkan laporan keuangan audited yang memperoleh opini “tidak wajar”? Saya meragukannya. Bagaimanapun juga, laporan keuangan “audited” tidak akan membuat wajib pajak (korporasi) terbebas dari pemeriksaan pajak.
sumber : www.jurnalakuntansikeuangan.com